Sosialisasikan pengunaan energi terbarukan terus di lakukan oleh Pemerintah Aceh, namun pembangunan pembangkit listrik dengan mengunakan bahan fosil tidak mampu terbendung.
Kampanye pengunaan energi terbarukan itu selain untuk mengajak investor membangun pembangkit listrik untuk mengurangi ketergantungan energi listrik dari Sumatera Utara, sosialisasi itu juga merupakan upaya penyelamatan bumi lewat sektor energi.
Namun untuk membangun pembangkit listrik dengan mengunakan energi terbarukan masih sangat mahal dan kebutuhan listrik semakin bertambah, pemerintah seakan tak berdaya ketika invertor membangun pembangkit listrik dengan mengunakan bahan fosil yakni batubara.
Cadangan batubara di Kabupaten Nagan Raya yang besar memungkinkan dibangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kabupaten Nagan Raya, melalui konsorsium Bank Pembangunan Daerah seluruh Indonesia dan pinjaman lunak dari lembaga pembangunan China, pembangkit berbiaya total Rp600 Milyar akan mampu menyuplai listrik 2 x 110 Megawat.
“Akhir tahun ini selesai tahap pertama” kata Syakur Kepala bidang enegi pada Dinas Pertambangan Energi Provinsi Aceh.
Terkait energi terbarukan atau pengunaaan energi non fosil seperti sinar matahari, tenaga angin dan minihidro serta panas bumi, Syakur menjelaskan pemanfaatannya dalam tahap rencana aksi, seperti pemanfaatan panas bumi.
Pemerintah kata syakur sedang melakukan proses tender eksplorasi panas bumi atau geotermal Seulawah, Aceh Besar yang di harapkan dapat menyuplai energi listrik sebanyak 85 Megawat.
Selain di Seulawah, energi terbarukan dari gunung berapi aktif itu juga akan segera dikerjakan pembangunannya oleh PT Bukaka di Pulau Sabang, bila nanti tuntas pembangkit listrik panas Bumi ini akan mampu menyuplai listrik 50 MW.
“Saat ini kebutuhan energi disabang sekitar 4 MW dan masih di suplai dari pembangkit listrik tenaga disel, ” kata Wakil Walikota Sabang Islamuddin ST.
Tuntasnya pembangunan pembangkit yang mengunakan panas bumi menjadi listrik tersebut sangat diharapkan oleh Pemko Sabang, karena bila program itu berjalan baik maka akan menopang industri pariwisata sabang.
Selain Sabang, pemanfaatan energi terbarukan juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, di Desa Suak Bakong persisnya di Kawasan Pantai saat ini tengah dilakukan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) atau sebuah pembangkit yang memanfaatkan kekuatan angin untuk mengerakkan turbin menjadi energi.
Pembangkit yang dibangun dari Investasi swasta tersebut diharapkan mampu menyuplai kebutuhan 10 MW atau menghidupkan listrik 100.000 rumah tangga bila pemakaiannya 1000 watt/rumah, sehingga kondisi energi di Kabupaten Aceh Selatan tidak lagi hidup tapi redup.
Pengunaan energi terbarukan yakni Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro di Kecamatan Lhong yang memanfaatkan air terjun Krung kala mampu menyuplai 40 kilowatt (Kw)
Awalnya bantuan PT Coca cola di kelola oleh masyarakat untuk menyuplai listrik untuk desa tersebut, namun kemudian karena operasionalnya sering rusak dan partisipasi masyarakat rendah untuk memperbaikinya, pembangkit tersebut akhirnya di kelola oleh koperasi.
Keputusan pengelolaan koperasi warga yang menjual arus ke PLN telah memperbaiki keuangan desa, dalam satu bulan koperasi mendapat hasil 12-14 juta.
Kepala Divisi Pemasaran PLN, Husaini menyebut suplai 40 kilowat dari PLTM Krung Kala tersebut di beli PLN Rp1.204/watt.
Saat ini 90 persen rumah tangga di Aceh telah menikmati listrik atau catatan PLN sekitar 1.004.000 pelanggan, dan pengunaan dibawah 6 Amper dibebaskan biaya beban.
Di Aceh kata Husaini rasio elektrifikasi atau rumah tangga berlistrik mencapai 84 persen, jumlah itu paling besar dibandingkan dengan daerah lain.
Sementara 16 persen jumlah rumah yang belum berlistrik tersebar di berbagai kabupaten terpencil seperti di Kabupaten Aceh Tenggara, Gayo Lues, Simeulue, Singkil dan Aceh Selatan serta Aceh Timur.
Pemerintah melalui PLN terus berupaya meningkatkan rasio elektrifikasi menjadi 2-3 persen tahun ini, dengan program pengembangan listrik desa, melalui pembiayaan APBN sebanyak Rp141 Milyar akan di bangun jaringan listrik hingga ke dusun.
Beban puncak di Aceh saat ini mencapai 320 Megawatt, dan untuk mengurangi 60 persen suplai energi dari Sumatera Utara saat ini tengah di bangun pembangkit baru seperti PLTU Nagan Raya 2x110 MW (mengunakan fosil yakni batubara), Pembangkit Listrik Tenaga Air di kawasan Pusangan, yang rencananya mampu menyuplai 84 MW.
Upaya lain adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap di batas Meukek dan Labuhan haji, Kabupaten Aceh Selatan yang mampu menyuplai 7 MW listrik, PLTU tersebut masih dalam proses pembangunan.
Selain itu juga PLN menyewa mesin disel baru yang mampu menyuplai listrik sebanyak 70 MW. “dalam bulan ini akan masuk sistem” kata Husaini.
Namun upaya menyediakan 70 megawatt lsitrik yang bersumber dari membakar bahan fosil untuk energi tersebut akan menyumbang 2800 gram karbon ke udara, ini belum termasuk jumlah pembangkit listrik tenaga disel yang telah beroperasi di Aceh.
Bila saat ini listrik telah dinikmati sebanyak 97 persen wilayah Aceh, pada tahun 1990 hanya 21 persen wilayah Aceh yang mampu sulai, kondisi itu membuat Gubernur Aceh kala itu Ibrahim Hasan berupaya keras, hingga akhirnya pada tahun 2004 suplai listrik kewilayah Aceh mencapai 95 persen.
Upaya meningkatkan rasio elekrtifikasi meski dengan mengunakan fosil tersebut dibarengi dengan pemanfaatan energi terbarukan yakni pembangunan pembangkit listrik tenaga minihidro di Kabupaten Gayo Lues, yakni PLTM Reurebee yang mampu menyuplai 500 kilowatt.
Selain itu Pemerintah Gayo Lues tengah menyiapkan 3 PLTM baru yang mampu menyuplai sekitar 2 Megawat energi listrik.
“untuk menjaga kelangsungan energi terbarukan ini, pemerintah dan masyarakat membuat perjanjian bersama menjaga kelangsungaan air, menjaga hutan dan fungsi hutan.” Kata Husaini.
Komitmen mengurangi jumlah karbon juga disampaikan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dengan membuat kebijakan jangka penjang, pemerintah berupaya membatasi pembangunan pembangkit listrik tenaga disel, dengan kata lain pengunaan bahan fosil untuk energi terus di kurangi.
Program dan komitmen menjaga hutan yang berguna menangkap karbon terus dilakukan dengan program jeda tebang yang di mulai tahun 2007 silam hingga saat ini. “Program ini sederhana sekali, upaya ini agar masyarakat di Aceh lebih sehat dengan mengunakan energi yang sehat pula, artinya energi yang ramah lingkungan” demikian Irwandi Yusuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar